SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia
telah dimulai pada awal abad XX M hingga dewasa ini merupakan
perjalanan yang cukup panjang. Dimana perkembangan cukup draktis
terjadi pada masa orde lama dan terus berkembang pada masa orde baru.
Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan agama
telah mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri
maupun swasta. Usaha tersebut dimulai dengan memberikan bantuan
sebagaimana anjuran oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP)
tanggal 27 Desember 1945, disebutkan :
"Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang telah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya mendapatkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah"
Pendidikan Agama diatur secara khusus dalam UU No, 4 Tahun 1950 pada bab
XII Pasal 20, yaitu :
- Di sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
- Cara penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Berdasarkan keterangan di atas, ada 2 hal yang penting berkaitan dengan
pendidikan Islam pada masa orde lama, yaitu pengembangan dan pembinaan madrasah dan
pendidikan Islam di sekolah umum.
a. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah
Perkembangan madrasah tak lepas dari peran Departemen
Agama
sebagai lembaga yang secara politis telah mengangkat posisi madrasah
sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus dari kalangan pengambil
kebijakan. Walau tak lepas dari usaha keras yang sudah dirintis oleh
sejumlah tokoh
agama seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy`ari dan Mahmud Yunus. Dengan perkembangan politis dan zaman, Departemen
Agama secara bertahap terus menerus mengembangkan program-program peningkatan dan perluasan ases serta peningkatan mutu madrasah.
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada pasal 10 menyatakan bahwa untuk mendapatkan pengakuan Departemen
Agama, madrasah harus memberikan pelajaran
agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping pelajaran umum.
Dengan persyaratan tersebut, diadakan pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat.
Jenjang
pendidikan pada sistem madrasah pada masa itu terdiri dari tiga jenjang.
1) Pertama Madrasah Ibtidaiyah dengan lama
pendidikan 6 tahun
2) Kedua Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4 tahun
3) Ketiga Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 Tahun.
Sedangkan kurikulum madrasah terdiri dari sepertiga pelajaran
agama
dan sisanya pelajaran umum. Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan
untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madrasah tidak cukup
hanya mengajarkan
agama saja, tetapi juga harus mengajarkan
pendidikan
umum, kebijakan seperti itu untuk menjawab kesan tidak baik yang
melekat kepada madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak akan
mencapai tingkat yang sama bila dibandingkan dengan sekolah umum.
Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah
berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
Tujuan pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap
mengembangkan madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional.
PGA pada dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh Departemen
Agama menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan madrasah di
Indonesia.
Sejarah perkembangan
PGA dan
PHIN bermula dari progam Departemen
Agama yang secara tehnis ditangani oleh Bagian
Pendidikan. Pada tahun 1950, bagian itu membuka dua lembaga
pendidikan dan madrasah profesional keguruan:
SGAI terdiri dari dua jenjang:
(a) jenjang jangka panjang yang ditempuh selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan
(b) Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah.
SGHAI ditempuh selama 4 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah.
SGHAI memilki empat bagian:
Bagian "a" untuk mencetak guru kesusastraan
Bagian "b" untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti
Bagian "c" untuk mencetak guru
agama
Pada tahun 1951, terjadi perubahan nama terhadap kedua madrasah keguruan tersebut sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama 15 Pebruari 1951. SGAI menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Pada tahun 1951 ini, PGA Negeri didirikan di Tanjung Pinang, Kotaraja, Padang, Banjarmasin, Jakarta, Tanjung Karang, Bandung dan Pamekasan. Jumlah
PGA pada tahun ini sebanyak 25 dan tiga tahun kemudian, 1954, berjumlah 30. sedangkan
SGHA pada tahun 1951 didirikan di Aceh, Bukit Tinggi dan Bandung.
Selanjutnya seiring dengan perubahan
"Bagian Pendidikan" yang berkembang menjadi "Jawatan Pendidikan Agama" di Departemen
Agama. Ketentuan-ketentuan tentang
PGA dan
SGHA diubah.
PGA yang 5 tahun diubah menjadi 6 tahun, terdiri dari
PGA Pertama 4 tahun dan
PGA Atas 2 tahun.
PGA jangka pendek dan
SGHA dihapuskan. Sebagai pengganti
SGHAI bagian "d" didirikan
PHIN (
Pendidikan Hakim
Islam Negeri) dengan waktu belajar 3 tahun dan diperuntukkan bagi lulusan
PGA pertama.
b. Perkembangan Perguruan Tinggi Islam
Perguruan Tinggi Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas
agama UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada
tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN ( Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementerian
Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu
Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di penerintahan ( Kementerian
Agama) dan untuk pengajaran
agama di sekolah.
Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN.
Peraturan resmi pertama tentang
pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku untuk Republik
Indonesia Serikat di Yogyakarta).
Sebelumnya ada ketetapan bersama Departemen
PKK dan Departemen
Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari Tahun 1951. Ketetapan itu menegaskan bahwa :
1.
Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu. Di lingkungan istimewa,
pendidikan agama
dapat di mulai dari kelas 1 dan jam pelajarannya boleh ditambah sesuai
kebutuhan, tetapi catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh
berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang
pendidikan agamanya diberikan mulai kelas
IV.
2. Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan
pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
3.
Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sebanyak 10 orang dalam 1 kelas dan mendapat izin dari orang tua dan walinya.
Undang-Undang
Pendidikan tahun 1954 No. 20 berbunyi :
1. Pada sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran
agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
2. Cara menyelenggarakan pengajaran
agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) bersama dengan Menteri
Agama.
Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan bahwa pengajaran
agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas para murid.
Pada periode orde Lama ini, berbagai peristiwa dialami oleh bangsa
Indonesia dalam dunia pendiidkan, yaitu :
1. Dari tahun 1945-1950 landasan idiil
pendidikan ialah
UUD 1945 dan Falsafah Pancasila.
2. Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya negara Republik Serikat (RIS), di wilayah bagian Timur dianut suatu sistem
pendidikan yang diwarisi dari zaman Belanda.
3. Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan terbentuknya kembali negara kesatuan Republik
Indonesia, landasan idiil
pendidikan adalah
UUDS RI.
4. Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan Republik
Indonesia kembali ke
UUD 1945 dan menetapkan arah politik Republik
Indonesia menjadi haluan negara.
5. Pada tahun 1945, sesudah G 30 S/PKI kita kembali lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Pada tahun 1960, sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama diselenggarakan di perguruan tinggi umum dan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak.
Namun, pada tahun 1967 (periode awal Orde Baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata kuliah
agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam system penilaian.
Pada masa kolonialisme dari Pondok
Pesantren lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh yang menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan
Indonesia, seperti
KH. Hasyim Asyari,
KH. Ahmad Dahlan,
KH. Zaenal Mustopa dll. Maka dapat dikatakan bahwa masa itu Pondok
Pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi terbentunya republik ini. Bila dianalisis lebih jauh kenapa dari lembaga
pendidikan
yang sangat sederhana ini muncul tokoh-tokoh nasional yang mampu
menggerakan rakyat untuk melawan penjajah, jawabannya karena figur
Kiyai sebagai Pimpinan pondok
pesantren sangat dihormati dan disegani, baik oleh komunitas
pesantren
(santri) maupun masyarakat sekitar pondok, mereka meyakini bahwa apa
yang diucapkan kiyai adalah wahyu Tuhan yang mengandung nilai-nilai
kebenaran hakiki ( Ilahiyyah).
Pada masa pasca kemerdekaan, Pondok
Pesantren
perkembangannya mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai
pencetak generasi kaum muslimin yang mumpuni dalam bidang
Agama (tafaqquh fiddien). Pada masa priode transisi antara tahun 1950 - 1965 Pondok
Pesantren mengalami fase stagnasi, dimana Kyai yang disimbolkan sebagai figur yang ditokohkan oleh seluruh elemen masyarakat
Islam, terjebak pada percaturan politik praktis, yang ditandai dengan bermunculannya partai politik bernuasa
Islami peserta
PEMILU pertama
tahun 1955, contohnya dengan lahirnya Partai Politik NU yang mewaliki
warga Nahdiyyin, Partai Politik NU tersebut dapat dikatakan
merepresentasikan dunia Pondok
Pesantren. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus dari parpol tersebut adalah Kiyai yang mempunyai Pondok
Pesantren.
Orde Baru dan Sekarang
Sejak dibubarkan
PKI dengan
G30S/PKI pada tanggal 30 Oktober 1965, bangsa
Indonesia telah memasuki masa "Orde Baru".
Perubahan yang terlihat pada Masa Orde Baru adalah :
1) sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala bentuk penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945
2) memperjuangkan adanya masyarakat yang adil dan makmur, baik material dan spiritual melalui pembangunan nasional
3) sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Perkembangan
pendidikan Islam selanjutnya pada masa orde baru dimulai dari kebijakan pada
pasal 4 TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang memuat kebijakan tentang isi pendidikan. Untuk mencapai dasar dan tujuan
pendidikan, maka isi
pendidikan adalah :
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Pendidikan
pada dasarnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Oleh
karena itu
pendidikan harus dimiliki oleh rakyat sesuai dengan kemampuan individu masing-masing.
Pada awal pemerintahan orde baru, pendekatan legal formal dijalankan tidak memberikan dukungan pada madrasah.
Tahun
1972 dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1972 dan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah
di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola oleh Menteri
Agama secara murni.
Perkembangan pendidikan pada orde baru selanjutnya dikuatkan dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang pendidikan nasional.
Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, dan ber budi pekerti luhur, memiliki ketrampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Prinsip-prinsip yang perlu mendapat perhatian dari Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional, adalah mengusahakan :
1. Membentuk manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.
2. Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia
yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mengandung
terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan idiologi
yang bertentangan dengan Pancasila.
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta berarti terbuka bagi seluruh rakyat, dan berlaku di seluruh wilayah negara, dan
menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang dan jenis
pendidikan, serta
terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara
pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.
Sebagaimana perkembangan orde lama, perkembangan pada orde baru juga dapat dibagi dalam :
a. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah
Penegerian Madrasah Swasta
Pada
tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah
Islam Negeri (MTsIN) dan Madrasah Aliyah
Agama Islam
Negeri (MAAIN). Namun ketentuan itu hanya berlangsung 3 tahun, dan
dengan alasan pembiayaan dan fasilitas yang sangat terbatas, maka
keluarnya
Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970 tidak ada lagi penegerian bagi madrasah madrasah swasta. Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, memasuki tahun 2000 kebijakan penegerian dimunculkan kembali.
Kesejajaran Madrasah dan Sekolah Umum
Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975 antara Menteri
Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri,
tentang Peningkatan Mutu Pendidiikan pada Madrasah.
SKB ini muncul dilatar belakangi bahwa setiap waganegara
Indonesia
berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama,
sehingga lulusan madrasah yang ingin melanjutkan, diperkenankan
melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang setingkat di atasnya. Dan bagi
siswa madrasah yang ingin pindah sekolah dapat pindah ke sekolah umum
setingkat. Ketentuan ini berlaku mulai dari tingkat sekolah dasar
sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Dalam
SKB tersebut disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga
pendidikan yang menjadikan mata pelajaran
agama Islam
sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kuranya 30 %
disamping mata pelajaran umum, meliputi Madrasah Ibtidaiyah setingkat
dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat
SMP dan Madrasah Aliyah setingkat
SMA.
SKB ini juga menetapkan hal-hal yang menguatkan posisi madrasah pada lingkungan
pendidikan, diantaranya :
1. Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih diatasnya
3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat
4. Pengelolaan madrasah dan pembinaan mata pelajaran
agama dilakukan Menteri
Agama, sedangkan pembinaan dan pengawasan mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama Menteri
Agama serta Menteri Dalam Negeri.
Lahirnya Kurikulum 1984
Pada tahun 1984 dikeluarkan
SKB 2 Menteri, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri
Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya
SKB tersebut dijiwai oleh Ketetapan
MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem
Pendidikan,
sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain
dengan melakukan perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara
pelbagai upaya perbaikan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah umum dan madrasah.
Sehingga sebagai tindak lanjut
SKB 2 Menteri tersebut lahirlah
"Kurikulum 1984" untuk madrasah, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama
No. 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, No. 100/1984 untuk
Madrasah Tsanawiyah dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah.
Diantara rumusan kurikulum 1984 adalah memuat hal-hal strategies, diantaranya :
1. Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTs, dan
MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler dan ekstra
kurikuler baik dalam program inti maupun program pilihan.
2. Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan
memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang
dipelajarinya.
3. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan
menyeluruh untuk keperluan peningkatan proses dan hasil belajar serta
pengelolaan program.
Lahirnya MAPK
Dengan dilatarbelakangi akan kebutuhan tenaga ahli di bidang
agama Islam ("ulama") dimasa mendatang sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional, maka dilakukan usaha peningkatan mutu
pendidikan pada Madrasah Aliyah. Lebih lanjut dibentuklah Madrasah Aliyah Pilihan Ilmu-Ilmu
Agama (MAPK) dengan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang ditentukan.
Kekhususan MAPK ini adalah komposisi kurikulum 65 studi agama dan 35 pendidikan dasar umum. Sasarannya adalah penyiapan lulusan yang mampu menguasai ilmu-ilmu
agama
yang nantinya menjadi dasar lulusan untuk terus melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi bidang keagamaan dan akhirnya menjadi calon ulama yang
baik. Selanjutnya
MAPK berganti nama menjadi
Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Namun lebih lanjut program ini
kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga nasibnya sampai hari
ini belum jelas keberadaannya.
Lahirnya UU No, 2 Tahun 1989
Lahirnya
UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, memberikan perbedaan yang sangat mendasar bagi
pendidikan agama.
Pendidikan agama
tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai
konsekuensinya diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk
operasional undang-undang tersebut, yaitu
PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP. No. 30/1990
tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua itu mengatur pelaksanaan
pendidikan agama di lembaga umum.
UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh
pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya. Namun,
SD, SLTP, SMU, SMK dan
SLB yang berciri khas berdasarkan
agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan
pendidikan agama lain dari
agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin
pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah
agama (berdasarkan
agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami
pendidikan agama yang tidak sesuai dengan
agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna
agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran
agama yang berbeda dengan
agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah
tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan
ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran
tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan
agama.
Lahirnya Kurikulum 1994
Pada tahun 1994,
kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang
pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk
pendidikan agama. Di
SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana
pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan
SMU, dimana
pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum bersama
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra
Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris,
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika,
IPA (Fisika, Biologi, Kimia),
IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan
Pendidikan Seni.
Dari sudut
pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter
pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai tahun 1998,
pendidikan di
Indonesia, masih menggunakan UU
Pendidikan
tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim orde baru menggulirkan
gagasan reformasi sekitar tahun 1998, yang salah satu agendanya adalah
perubahan dan pembaruan dalam bidang
pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati
pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.
Lahirnya UU No, 20 Tahun 2003
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa
pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. "Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidikan yang seagama," (Pasal 12 ayat a).
Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru
agama
yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan
pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus "mengubur" bagian dari UU
No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya
sekolah dengan latarbelakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik).
UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan
Islam untuk mengajarkan
pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut
agama Katolik.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 ini lah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa `kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya,
pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.`
Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, `
pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia`.
Pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana
pendidikan, biaya
pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen
pendidikan lainnya.
Ketua Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan
Pendidikan Agama dan Keagamaan, (MP3A) Departemen
Agama menambahkan,
pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan lima prinsip dasar, di antaranya:
Pertama, pelaksanaan
pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum
pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan
agama yang dianut peserta didik.
Kedua,
pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal
agama yang dianut dan terhadap pemeluk
agama lain.
Ketiga,
pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan
agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
Lahirnya KBK
Perjalanan kebijakan
pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Kehadiran
Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan
memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai
penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari
sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi
tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual,
ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional,
sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
KTSP masih berlaku sampai sekarang.
Pembinaan dan Pengembangan
pendidikan madrasah dalam rangka peningkatan akses dan mutunya, pada saat ini dikoordinasikan oleh
Direktorat Pendidikan Madrasah pada Ditjen Pendidikan Islam.
PAI pada awal kemerdekaan
Undang-undang
pendidikan dari zaman dahulu sampai sekarang tampaknya masih terdapat dikotomi
pendidikan. Dimana bila dicermati bahwa undang-undang
pendidikan nasional masih membeda-bedakan antara
pendidikan umum dan
agama, padahal bila digabungkan antara ilmu
agama dan ilmu umum justru akan menciptakan kebersamaan dan juga mampu menciptakan kehidupan yang harmonis, serasi dan seimbang.
Prioritas
pendidikan Islam harus diarahkan pada empat hal, sebagai berikut :
1.
Pendidikan Islam bukanlah hanya untuk mewariskan faham atau polah keagamaan hasil internalisasi generasi terhadap anak didik.
2.
Pendidikan
hendaknya menghindari kebiasaan mengunakan andai-andaian model yang
diidealisir yang sering kali membuat kita terjebak dalam romantisme yang
berlebihan.
3. Bahan-bahan pengajaran
agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematik empirik disekitarnya.
4. Perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses mengajar
agama.
Dilihat dari legalitas hukum penyelenggaraan
PAI pada
sekolah umum, mengalami proses yang panjang yaitu sejak masa pasca
kemerdekaan hingga ditetapkan undang-undang no. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam proses mendapatkan legalitas hukum atas pelaksanaan
pendidikan agama sejak kurun kemerdekaan, terjadi tarik menarik antara kelompok yang pro karena menganggap
PAI penting diberikan di Sekolah/Perguruan Tinggi, dan mereka yang kontra karena mengganggp tidak penting dan cukup diganti dengan
pendidikan budi pekerti.
Semenjak awal kemerdekaan sampai masa orde baru, pelaksanaan
PAI di sekolah selalu masuk dalam agenda pembahasan atau atas dasar kemauan politik tokoh-tokoh nasional. Hal ini dikarenakan,
setiap keputusan tentang pelaksanaan PAI pada dasarnya merupakan keputusan politik. Hasil penelusuran dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan pelaksanaan
agama di sekolah umum dari masa pasca kemerdekaan hingga tahun 1990, yaitu :
a. Rapat Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BPKNIP) taggal 27 Desember 1945 antara lain merekomensasikan agar
pendidikan agama
mendapat tempat pada kurikulum, yang harus diatur secara seksama dan
mendapat perhatian semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan.
b. Perguruan
Agama Islam atau Madrasah dan Ponpes mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
PAI sejak UU No. 2 Tahun 1989 sampai lahirnya kurikulum 1994
Pemerintah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pelaksanaan
pendidikan Agama, sejak jaman pasca Orde Baru.
Karakteristik kurikulum PAI Tahun 1994 antara lain:
a. Materi atau bahan kajian yang masing-masinng sesuai dengan tingkat atau jenjang satuan
pendidikan
b. Pilihan bahan kajian untuk semua jenjang
pendidikan yang essensial dan sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa
c. Aspek-aspek pemahaman keagamaan kilafh dihilangkan
d. Materi atau bahan untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik
e. Pokok bahasan atau kajian PAI diorientasikan untuk berpadu dengan bidang studi yang lain.
PAI sejak UU No. 20 Tahun 2003
Dengan lahirnya
UU No, 20 Tahun 2003 semakin mempertegas kedudukan pendidikan agama Islam sebagai salah satu elemen terciptanya tujuan pendidikan nasional secara umum. Sebagaimana pada Pasal 3,
Pendidikan
Nasional mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya
potensi pesersta didik agar menjadi manusian yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Maka dalam hal ini, Ditjen
Pendidikan Islam berpeluang besar untuk mengembangkan kapasitas kelembagaannya dengan meningkatkan kualitas sistem dan layanan
pendidikan agama Islam dalam rangka kensukseskan tujuan
pendidikan nasional.
1. Kurikulum untuk jenis
pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah terdiri atas : (1) kelompok mata pelajaran
agama
dan akhlak mulia, (2) kelompok mata pelajaran kewarganegeraan dan
kepribadian, (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi,
(4) kelompok mata pelajaran estetika, dan (5) kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga dan kesehatan.
2. Kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B,
SMA/MA/SMALB/Paket C,
SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan.atau kegiatan
agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan.
Dukungan pemerintah lebih terencana lagi dalam pengembangan pendidikan agama Islam,
terlihat pada Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2004, tetang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah pada bidang Peningkatan Kualitas Kehidupan
Beragama, dan berlangsung sampai sekarang Dalam arah kebijakannya dinyatakan bahwa sesuai dengan agenda pembangunan nasional, disebutkan bahwa, peningkatan kualitas
pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan. Serta peningkatan kualitas tenaga kependidikan
agama dan keagamaan.
Agar pengembangan
pendidikan agama Islam pada sekolah umum lebih terarah maka sejak tahun 1978 berdirilah Direktorat
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum, lebih lanjut karena respon pemerintah dan dunia
pendidikan khususnya terhadap
pendidikan agama Islam berkurang, direktorat ini sempat menghilang di tahun 2001 dengan menggabung dengan Direktorat Pembinaan Perguruan
Agama islam (Ditbinruais), menjadi Direktorat Madrasah dan
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum. Namun ternyata penggabungan ini tidak juga mengangkat
pendidikan agama Islam
pada sekolah umum ke arah yang lebih baik, bahkan lebih terpuruk dan
terasa dikesampingkan. Oleh karena itu di tahun 2005 dibentuk
direktorat baru yang bersifat khusus kembali yaitu Direktorat
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, dan akhirnya disempurnakan menjadi
Direktorat Pendidikan Agama Islam sampai sekarang berdasarkan
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010. Saat ini perkembangan program/kegiatan bagi
pendidikan Agama Islam sudah makin membaik dan terrencana.
Perkembangan
pendidikan Pondok
Pesantren
pada periode Orde Baru, seakan tenggelam eksistensinya karena seiring
dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kepentingan ummat
Islam.
Setitik harapan timbul untuk nasib umat
Islam setelah terjadinya era reformasi, pondok
pesantren mulai berbenah diri lagi dan mendapatkan tempat lagi dikalangan pergaulan nasional. Salah satunya adalah
pendidikan Pondok Pesantren diakui oleh pemerintah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pondok
pesantren tidak lagi dipandang sebagai lembaga
pendidikan tradisional yang illegal, namun
pesantren diakui oleh pemerintah sebagai lembaga
pendidikan yang mempunyai kesetaraan dalam hak dan kewajibannya dengan lembaga
pendidikan formal lainnya.
Peluang tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh Pondok
Pesantren, agar dapat meningkatkan kembali peranannya dalam sistem
pendidikan nasional. Namun yang terjadi peluang tersebut belum memberikan respon positif kearah peningkatan kualitas
pendidikannya,
salah satunya dapat diidentifikasikan bahwa hanya segelintir kecil saja
masyarakat yang ingin menitipkan anaknya untuk dididik dilembaga
pendidikan pondok
pesantren, dibanding ke sekolah-sekolah umum. Ketimpangannya cukup besar, mungkin hanya 10% nya saja anak-anak
Indonesia yang mengenyam
pendidikan di pondok
pesantren dan selebihnya mereka mengenyam
pendidikan disekolah-sekolah umum.
Pembinaan Pondok
Pesantren sebelum tahun 2000 dilakukan oleh salah satu Subdit di lingkungan Direktorat Pembinaan Perguruan
Agama Islam, yaitu
Subdit Pondok Pesantren sesuai dengan Keputusan Menteri
Agama Nomor 6 Tahun 1979.
Akhirnya dengan makin pesatnya perkembangan lembaga pondok
pesantren dan
pendidikan diniyah serta makin berkembangnya program dan kegiatan pembinaan bagi Pondok
Pesantren dan
Pendidikan Diniyah, subdit tersebut berkembang menjadu direktorat yang bernama
Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, sebagai satu dari empat direktorat yang pada Ditjen Kelembagaan
Agama Islam sesuai Keputusan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 2001. Dengan berubahnya organisasi pembinaan menjadi direktorat tersebut, maka
pendidikan di pondok
pesantren dan
pendidikan diniyah terus makin berkembang dengan pesat, dan mulai diakui dikalangan dunia
pendidikan.
Pada akhirnya seiring dengan berkembangnya pembinaan dan pengorganisasian Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam yang berubah menjadi Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam, Direktorat
Pendidikan Keagamaan dan Pondok
Pesantren berubah pula menjadi
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Perubahan itu berdasarkan
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005.
IAIN sebagai salah satu bagian dari
PTAI, merupakan bagian dari salah satu sistem
pendidikan Islam yang ada di
Indonesia.
IAIN di
dirikan pada awal tahun 1960 sebagai suatu respon atas kebutuhan
pemerintah akan tenaga pendidik yang ahli di bidang ilmu-ilmu
keislaman, untuk mengembangkan sistem
pendidikan madrasah. Akhirnya dalam perkembangan nya
IAIN jumlahnya semakin bertambah dan berkembang.
Perkembangannya sejak masa orde baru bukan saja pada
aspek fisiknya tetapi juga pada aspek tenaga pendidik atau dosennya,
baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Sejalan dengan kebutuhan masyarakat
Islam akan Ilmu dan pengetahuan serta teknologi peran perguruan tinggi
agama Islam semakin bertambah, oleh karenan itu beberapa tahun ini beberapa
IAIN telah berkembang menjadi universitas
Islam. Dimana dalam pelayanannya, selain memberi
pendidikan bidang studi keagamaan juga memberikan pelayanan
pendidikan umum.
Saat ini Perguruan Tinggi
Agama Islam telah tersedia 15
IAIN, 6
UIN dan 31
STAIN.
SEJARAH ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM
a. Memberi pengajaran
agama di sekolah negeri dan partikulir
b. Memberi pengetahuan umum di madrasah
2. Tahun 1950 selanjutnya
"Bagian Pendidikan" yang berkembang menjadi "Jawatan Pendidikan Agama" di Departemen Agama,
dengan fokus pekerjaan tetap pada 3 aspek, yaitu memberi pengajaran
pada sekolah negeri, memberi pengetahuian umum di madrasah dan
mengadakan
pendidikan guru
agama serta
pendidikan hakim
Islam negeri.
3. Selanjutnya Jawatan
Pendidikan Agama berkembang lebih lanjut dan akhirnya menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam pada tahun 1968
4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang
Susunan Organisasi Departemen, yang selanjutnya dilaksanakan dengan
Keputusan Menteri
Agama No. 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Agama, terjadi perubahan susunan organisasi kelembagaan di lingkungan Departemen
Agama.
5. Kemudian disempurnakan dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1979 tentang Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama Sebagai Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1978. Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam terdiri dari :
- Sekretariat Direktorat Jenderal
- Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam
- Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam.
6. Sesuai Keputusan Presiden RI No. 165 Tahun 2000
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Departemen jo
Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Agama.
- Sekretariat Direktorat Jenderal
7. Berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005, mengubah Direktrorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Dan sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Agama.
- Sekretaris Direktorat Jenderal
- dan Kelompok Jabatan Fungsional.
8. Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun
2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, dan
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dam
Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organiasi, Tugas dan Fungsi
Eselon I Kementerian Negara. Sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementeri Agama.